Dampak Kebijakan Penyediaan Energi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi – Pelajaran dari Jerman

Realisasi keputusan parlemen untuk keluar dari pemanfaatan listrik dari nuklir, dituntaskan Jerman dengan dihentikannya operasi 3 PLTN, Emsland, Isar II, and Neckarwestheim II yang semuanya berjenis pressurized power reactor, pada minggu 16 april 2023.


Keputusan parlemen yang biasanya diambil melalui voting (musyawarah jarang dipakai), suara terbanyak adalah yang ditetapkan sebagai keputusan terbaik yang dipilih…


Apa yang terjadi setelah realisasi kebijakan keluar dari penggunaan tenaga kistrik dari PLTN tsb?


Saat ini Jerman sedang memeriksa pengaktifkan kembali cadangan pasokan lignite (jenis batubara) untuk kebutuhan energi 2023-2024.


Penggunaan kembali pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, diperbolehkan hingga akhir Maret tahun depan berdasarkan undang-undang ketersediaan pembangkit listrik pengganti di Jerman, selama tingkat kewaspadaan ketersediaan gas di negara tersebut tetap tidak berubah atau meningkat.


Invasi Rusia ke Ukraina merupakan penyebab energy shock di Eropa 18 bulan yang lalu.


Dengan hilangnya pasokan gas Rusia, batubara membuat EU untuk menggunakannya kembali sebagai ‘bahan bakar tradisional’.

Menurut International Energy Agency (IEA), kebutuhan batubara di Eropa naik selama 2022, sebagai konsekuensi “pertumbuhan pesat” kebutuhan pembangkitan listrik, yang sebagian telah diganti gas sebagai backup.


Harga gas diperkirakan tetap volatile selama beberapa waktu yqng cukup lama, angin menjadi alternatif bagi pembangkit listrik Eropa yang gunakan batubara.


Output daya turbin angin lebih tinggi pada saat musim dingin di Jerman. Selama 5 tahun yang lalu angin menghasilkan rata rata 18.1GW pada musim dingin dibandingkan rata rata 9.8GW pada musim panas.


Dilihat dari sisi konsumsi energi, Indeks produksi untuk industri yang energy-intensive telah menurun tajam sejak pertengahan 2022, dari 82.4 poin pada bulan juni 2022, turun lebih dari 10 poin.


Krisis energi Eropa mendorong Jerman ke dalam resesi pada 2023, karena menigkatnya harga energi menyebabkan hambatan bagi produksi industri dan menimbulkan inflasi yang berarti turunnya daya beli masyarakat. (Menurut menteri ekonomi Robert Habeck)


“We are currently experiencing a severe energy crisis that is increasingly turning into an economic and social crisis,” kata menteri ekonomi Robert Habeck.


Dari kejadian di Eropa, terutama Jerman, dapat diambil pelajaran bahwa energi bersih yang terbukti mampu memasok base load adalah gas dan nuklir.

Bagaimana dengan Indonesia?


Dalam RPJM 2019-2024 dinyatakan bahwa penguatan ketahanan ekonomi ditujukan untuk pertumbuhan dengan tetap memegang komitmen pemerintah Indonesia dalam UNFCCC COP 21 tahun 2015 untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca minimal 29% pada tahun 2030.


Untuk tujuan tersebut perlu dilakukan penguatan kemampuan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan mempergunakannya untuk memproduksi barang dan jasa bernilai tambah tinggi untuk memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor.


Dalam rangka hal tersebut, harus diupayakan peningkatan kontribusi PDB industri pengolahan non migas, terutama dengan cara peningkatan kontribusi ekspor produk industri berteknologi tinggi.


Pemenuhan kebutuhan energi dalam rangka tsb, harus mengutamakan peningkatan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).


Jika Indonesia andalkan pasokan energinya dengan cara business as usual (penggunaan EBT 19% dari pasokan energi total pada tahun 2027), maka emisi CO2-equivalent total pada tahun 2027 (atas dasar perhitungan) akan mencapai 234 juta ton CO2-equivalent.

Sebagai gambaran, pada tahun 2017 penggunaan EBT hanya 8% dari total pasokan energi di Indonesia. Atas dasar perhitungan, jika gunakan EBT 31% dari pasokan energi total untuk Indonesia (sekitar 350 TWh) pada tahun 2027, emisi berkurang 16% dari 234 juta ton CO2-equivalent. Jika gunakan EBT 43% dari pasokan energi total, emisi berkurang 36%.


Permasalahannya adalah pertanyaan terkait kemampuan pasokan energi EBT, apakah mampu menyediakan pasokan sebesar 31% atau bahkan 43% dari kebutuhan total pasokan energi untuk Indonesia pada tahun 2027.


Pengurangan emisi memerlukan EBT yang berkemampuan besar, sebagaimana pemasok energi dari bahan bakar fosil seperti batubara, bahan bakar tradisional yang saat ini menjadi pilihan Jerman akibat kurangnya pasokan gas. Pemasok energi, yang telah terbukti mampu menyaingi kemampuan pasok energi dari bahan bakar fosil, adalah nuklir.


Pelajaran dari Eropa menunjukkan, ketika EBT tidak dapat memasok kebutuhan energi, solusi penyediaan energi bersih adalah gas, sedangkan batubara sebagai solusi darurat.


Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia punya cadangan gas alam sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion square cubic feet/TSCF) pada 2021.


Indonesia memang memiliki cadangan gas sangat besar. Namun sayangnya cadangan itu belum bisa dimanfaatkan karena infrastruktur yang belum memadai.


Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia melakukan impor gas bumi mencapai angka 6,8 juta ton.


Angka ini naik 5,5% dibandingkan tahun 2021 sekaligus menjadi impor gas terbesar dalam lima tahun terakhir.


Akibatnya apa yang terjadi… Pada 2022 Indonesia mengimpor gas dari Amerika Serikat (AS), dengan volume sekitar 2,8 juta ton. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemasok terbesar nomor dua, dengan volume sekitar 1,9 juta ton.