Molten Salt Reactor

Saat ini beberapa tawaran implementasi desain molten salt reactor mulai bermunculan, termasuk tawaran satu perusahaan Amerika, ke Indonesia. Perusahaan tsb bernama Thorcon dan telah bekerjasama dengan Balitbang Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Balitbang Kementrian Pertahanan. Berikut adalah ringkasan hasil kajian yang dilakukan terhadap desain Molten Salt Reaktor dari vendor tersebut.

Molten Salt Reactor hasil desain Thorcon masih menggunakan uranium-235 secara periodik untuk breeding thorium menjadi uranium-233 dan masih menerapkan batch reprocessing.

Molten Salt Reactor (MSR) yang berbahan bakar utama Thorium. Tekanan operasi sekitar tekanan atmosfir, bahan bakar dan bahan pendingin membeku jadi padatan pada suhu di bawah 400an derajat Celcius merupakan fitur keselamatan utama dari jenis reaktor ini. Commercial plant yang didesain Terrestrial Energy telah melalui tahap 1 proses pre-licensing dan memasuki tahap 2 proses tersebut di Kanada. Bahkan joint review akan dilakukan oleh Canadian Nuclear Safety Commission (CNSC) dan United States Nuclear Regulatory Commission (NRC).

TANTANGAN: kesiapan regulasi untuk reaktor generasi IV, kesiapan komunitas riset Indonesia untuk bekerjasama bangun prototype untuk licensing by test/experiments.

DISKUSI REVIU KESELAMATAN MSR DAN REGULASI NUKLIR INDONESIA:
Kesiapan regulasi sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya penyediaan listrik ataupun process heat (bahang untuk industri proses) dari energi nuklir dengan tingkat keselamatan tinggi di Indonesia. Perkembangan teknologi telah mencapai fitur keselamatan yang berbasis fenomena alam, tidak lagi mengandalkan fitur keselamatan hasil rekayasa (engineered safety features). Wujud perkembangan tersebut berupa beberapa desain pembangkit tenaga nuklir Generasi IV. Desain generasi IV yang saat ini berupaya untuk merintis perizinan di Indonesia adalah TMSR (Thorium Molten Salt Reactor) yang didesain oleh Thorcon. Desain TMSR berbasis pada Molten Salt Reactor Experiment di ORNL (Oak Ridge Nuclear Laboratory) milik departemen energi USA.

Menurut lampiran 1 perka BAPETEN no 3 tahun 2011 tentang KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA, KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE – Postulated Initiating Event) adalah kejadian yang memulai suatu rangkaian kejadian dan yang mengakibatkan:

  1. kejadian operasi terantisipasi (AOO – Anticipated Operational Occurrences ),
  2. kecelakaan dasar desain (DBA – Design Basis Accident) ,
  3. kecelakaan parah (Severe Accident)

Demikian pula menurut IAEA GS-G-4.1 “Format and Content of the Safety Analysis Report for Nuclear Power Plants”.

Disebutkan pada Pasal 3 Peraturan Kepala BAPETEN tsb berlaku untuk reaktor daya berpendingin air yang dibangun di daratan.

Namun berdasarkan analisis dan hasil-hasil dari MSRE, accidents scenarios yang telah diidentifikasi konsisten dengan katagori kejadian dalam SAR (Safety Analysis Report) menurut IAEA GS-G-4.1 tersebut.

Mengingat keunggulan keselamatan yang dijanjikan ada dalam MSR, penerapan perka BAPETEN no 3 tahun 2011 perlu dilakukan dengan mekanisme “graded approach”.

Implementasi “graded approach” diusulkan dengan cara penerapan “risk informed licensing”. Dengan demikian proses grading berbasis pada:

  1. Analisis keselamatan,
  2. Persyaratan regulasi
  3. Pertimbangan perekayasaan (engineering judgement).

Terkait analisis keselamatan, APRONUKI mengusulkan Area Fokus Reviu n0 7 yang berisi langkah-langkah reviu sbb.:

  1. Tujuan analisis
  2. Analisis ancaman bahaya
  3. Analisis keselamatan deterministik
  4. Penilaian keselamatan berdasarkan tahapan dalam risk informed design:
    4.1. Analisis skenario kecelakaan
    4.2. Failure Modes & Effect Analysis (FMEA).
    4.3, Analisis deterministik untuk identifikasi failure modes, FMEA dipergunakan sebagai basis untuk pengembangan event tree oleh analis PRA.
    4.4. PRA (Probabilistic Risk Assessment) untuk identifikasi failure modes yang dominan
    4.5. Penambahan fitur keselamatan untuk mitigasi atau pencegahan failure modes yang dominan
    4.6. Langkah 4.3 dan 4.4 diulang hingga memenuhi kriteria keberterimaan desain sistem keselamatan

Terkait dengan analisis ancaman bahaya atau menurut lampiran 1 perka BAPETEN no 3 tahun 2011 dan IAEA GS-G-4.1 disebut sebagai PIE, telah diidentifikasi PIE pada MSR sebagai berikut:

  1. Transien operasi abnormal (AOT- abnormal operating transients):
    Efisiensi ekstraksi produk fisi yang tidak larut dengan cara helium bubbling, akan berpengaruh terhadap keseimbangan neutron dalam teras dan berpotensi menimbulkan masalah keselamatan, Sirkulasi helium dalam teras akan berpengaruh terhadap reaktivitas (void effect).
  2. kecelakaan dasar desain (DBA – Design Basis Accident):
    2.1. Kecelakaan peningkatan daya atau RIA (reactivity initiated accident). PIE menurut NRC dan EPRI dalam ” Technology Assessment of a Molten Salt Reactor Design ” (2015) terkait RIA adalah: Penarikan batang kendali yang tidak disengaja.
    2.2. Kecelakaan penurunan aliran (pump trip accident)
    2.3. Kecelakaan kebocoran bahan bakar-garam (primary loop break accident)

Selain ke 3 RIA tersebut, APRONUKI mengusulkan juga:
a. Penyumbatan kanal/saluran garam cair
b. Desain mekanisme pendinginan drain tank kurang efisien

Perlu dikaji apakah kejadian berikut relevan untuk ditambahkan sebagai RIA:
a. Hilangnya aliran garam cair pendingin
b. Kegagalan Penukar panas garam cair pendingin intermediate (garam cair yang biasanya untuk transfer bahang dari sinar matahari pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS))

PIE lain yang dapat menyebabkan kerusakan teras MSR menurut NRC dan EPRI dalam “Technology Assessment of a Molten Salt Reactor Design” (2015):
. Kerusakan satu atau lebih tabung grafit (misalnya karena penanganan tabung grafit yang tidak tepat selama perawatan atau inspeksi)

  1. Pendinginan garam bahan bakar, yang telah dikeluarkan dari teras, tidak tepat atau tidak memadai
  2. Potongan garam yang cair sebagian atau massa padat merusak pemipaan ke tangki pembuangan. misalnya defisiensi desain freeze valve
  3. Kecelakaan parah

Source term:
Produksi tritium dan berbagai cara untuk menguranginya dan untuk menjebak tritium di rangkaian primer dan sekunder.

Pada MSRE (MSR eksperimental), diamati bahwa:
(1) gas mulia (misalnya xenon, krypton) akan keluar ke sistem off-gas,
(2) banyak produk fisi (termasuk cesium) membentuk fluorida yang stabil dan secara permanen disimpan dalam garam cair,
(3) logam mulia tertentu dan telurium tidak akan membentuk fluorida ataupun tetap dalam larutan, tetapi menempel pada permukaan rangkaian utama.

MSR memiliki potensi kecelakaan source term kecil karena:
• radionuklida yang diperhitungkan sebagai source term berjumlah sedikit
• Tekanan rendah
• Sistem off-gas secara selektif menghilangkan komponen yang mudah menguap
• Kimia garam membatasi pelepasan radionuklida dalam kondisi kecelakaan reaktor

  • Potensi pelepasan yodium rendah
  • Potensi pelepasan cesium rendah

Sistem Off-Gas
• radionuklida yang signifikan

  • Xenon (dengan panas peluruhan tinggi)
  • Krypton
  • Lainnya

Gas produk fisi krypton dan xenon memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam garam bahan bakar dan secara alami akan keluar.

Dari uraian ringkas di atas tampak pentingnya pendalaman yang melahirkan pedoman bagi vendor atau pemangku kepentingan lainnya.

8 replies on “Molten Salt Reactor”

Saya bukan Sarjana Nuklir, tapi saya memahami bahwa teknologi MSR lebih aman dan lebih efisien dari sudut cost. Secara ekonomi Tepat utk dikembangkan di Indonesia

Betul DR Kurtubi, tapi perlu melalui tahapan review seperti dibahas dalam tulisan di atas. APRONUKI telah mengusulkan agar BAPETEN menyiapkan pedoman review tsb. Bisa belajar dari CNSC (Canada Nuclear Safety Commission) yang telah melakukan pre-lincensing phase 1 terhadap Integral Molten Salt Reactor 400 (IMSR-400) yang didesain oleh Terrestrial Energy.

Mohon maaf, verwaltung (admin dalam bahasa Jerman) mencoba buat kesimpulan sementara:
1. Kita semua ingin pembangkit daya yang bersih
2. MSR perlu melalui review keselamatan, tidak hanya terkait mekanisme keselamatan yang berbasis fenomena alam, tetapi juga keandalan komponen.
3. Idealnya, Reaktor fusi lebih menjanjikan daripada reaktor fisi, karena bahan baku berlimpah dan tidak ada limbah radioaktif. Namun saat ini masih dalam tahap riset sehingga belum siap utk deployment pada jangka pendek. Sementara Indonesia perlu segera untuk peningkatan nilai tambah sumber daya-alam dengan tetap minimasi emisi GRK.

Dari ulasan terkait MSR dan bbrp komen/diskusi di atas, saya menambahkan komen sbb.:
– Regulasi untuk Gen.IV (a.l. MSR) belum ada.
– Riset di Indonesia terkait Keandalan Komponen reaktor nuklir Gen.IV belum dilakukan. Meskipun teknologinya sdh proven (Gen.III) tetap harus dilakukan riviu keandalan komponennya. Apalagi teknologinya belum proven dan masih dalam tahap riset.
– Meskipun akibat perkembangan teknologi sdh menggunakan fitur keselamatan berbasis fenomena alam dan tdk lagi mengandalkan Engineered Safety Features, namun keandalan komponen reaktor nuklir lebih spesifik lagi kompatibilitas material antara logam induk dan logam lasan harus tetap dikaji. Karena apabila material yg digunakan tidak kompatibel dapat mengakibatkan premature aging.

Saya melihat data2 yg ditampilkan IAEA ttg desain Thorcon (https://aris.iaea.org/PDF/ARISThorCon9.pdf ) menunjukkan desain ini memang menarik.
Fakta bahwa desain ini termasuk dalam kategori MSR pada Gen-IV dari GIF menunjukkan bahwa PLTN tipe ini memang cocok utk keperluan jangka-panjang. Tim Gen-IV tentu sudah menilai matang desain mana saja yg patut dianggap viable utk dibangun.
Namun begitu, Roadmap GIF 2014 mengatakan bahwa banyak pekerjaan yang harus dilakukan pada garam cair sebelum reaktor demonstrasi beroperasi, dan menyarankan 2025 sebagai akhir dari fase R&D yang layak.
Secara keseluruhan saya setuju dgn pendapat teman2 di PKSEN BATAN bhw PLTN ini bisa diimplementasikan dalam jangka panjang di Indonesia karena mempunyai aspek keselamatan tinggi, dan mudah dikonstruksi tetapi berbagai kendala masih perlu diselesaikan seperti status teknologi masih desain konsep, SDM belum tersedia, dan belum mendapat sertifikasi dari lembaga yang berwenang. Lihat Reviu Implementasi Thorcon Molten Salt Reactor di Indonesia. Available from: https://www.researchgate.net/publication/331202265_Reviu_Implementasi_Thorcon_Molten_Salt_Reactor_di_Indonesia [accessed Aug 01 2020].

MSR adalah salah satu dari 6 kelompok reaktor Gen IV yang semuanya masih dlm tahap riset. Ke-6 kelompok tsb adalah:
1. Lead-Cooled Fast Reactor (LFR)
2. Sodium-Cooled Fast Reactor (SFR)
3. Very High Temperature Reactor (VHTR)
4. Supercritical Water-cooled Reactor (SCWR)
5. Gas Cooled Fast Reactor (GFR)
6. Molten Salt Reactor (MSR)
Dari road map Gen IV Int’l Forum, urutan no di atas juga menunjukkan urutan waktu mencapai tahap demo plant.
Krn Indonesia bukan negara kaya utk mendapat manfaat segera dari skala prototype, mestinya Riset reaktor Gen IV bisa di arahkan ke kelompok LFR, VHTR atau SFR yg diperkirakan mencapai demo plant sekitar 2022…..

Sebaiknya kita sabar menunggu PLTN Fusi (cold/hot fusion) menjadi komersial dari negara maju atau desain sendiri di dalam negeri. Bahan bakarnya cukup dari air laut (hidrogen/ deuterium/ tritium) yang melimpah di Indonesia dan limbahnya hanya air (H+H) atau gas He (D+T). Mohon BATAN mulai mempelajari teknologi ini. Hindarkanlah PLTN Fissi, meski menggunakan thorium (awal reaksi pakai U-235 diperkaya, thorium diubah kembali ke uranium juga, U-233), ia tetap meninggalkan limbah Radioaktif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *