Indonesia, EBT dan batubara

Dalam RPJM 2019-2024 dinyatakan bahwa penguatan ketahanan ekonomi ditujukan untuk pertumbuhan dengan tetap memegang komitmen pemerintah Indonesia dalam UNFCCC COP 21 tahun 2015 untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca minimal 29% pada tahun 2030.
Untuk tujuan tersebut perlu dilakukan penguatan kemampuan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan mempergunakannya untuk memproduksi barang dan jasa bernilai tambah tinggi untuk memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor. Dalam rangka hal tersebut, harus diupayakan peningkatan kontribusi PDB industri pengolahan non migas, terutama dengan cara peningkatan kontribusi ekspor produk industri berteknologi tinggi.
Pemenuhan kebutuhan energi dalam rangka tsb, harus mengutamakan peningkatan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Jika Indonesia andalkan pasokan energinya dengan cara business as usual (penggunaan EBT 19% dari pasokan energi total pada tahun 2027), maka emisi CO2-equivalent total pada tahun 2027 (atas dasar perhitungan) akan mencapai 234 juta ton CO2-equivalent. Sebagai gambaran, pada tahun 2017 penggunaan EBT hanya 8% dari total pasokan energi di Indonsia. Atas dasar perhitungan, jika gunakan EBT 31% dari pasokan energi total untuk Indonesia (sekitar 350 TWh) pada tahun 2027, emisi berkurang 16% dari 234 juta ton CO2-equivalent. Jika gunakan EBT 43% dari pasokan energi total, emisi berkurang 36%.
Permasalahannya adalah pertanyaan terkait kemampuan pasokan energi EBT, apakah mampu menyediakan pasokan sebesar 31% atau bahkan 43% dari kebutuhan total pasokan energi untuk Indonesia pada tahun 2027.
Pengurangan emisi memerlukan EBT yang berkemampuan besar, sebagaimana pemasok energi dari bahan bakar fosil seperti batubara. Pemasok energi, yang telah terbukti mampu menyaingi kemampuan pasok energi dari bahan bakar fosil, adalah nuklir.
Biaya pembangkitan listrik dari pembangkit daya nuklir lebih mahal dibanding biaya pembangkitan listrik dari PLTU batubara?
Saat ini di Indonesia, digambarkan bahwa listrik dari pembangkit daya nuklir mahal. Sementara listrik dari pembangkit daya berbahan bakar batubara murah.
Gambaran tersebut perlu ditelaah lebih cermat, apakah perhitungan harga listrik saat ini memperhitungkan biaya eksternalitas dan bahkan biaya carbon. Biaya eksternalitas meliputi biaya kerusakan akibat polusi PM10, SOx dan NOx, sedangkan biaya carbon (a.l. berupa CO2) merupakan biaya untuk mereduksi emisi carbon, misalkan dengan cara carbon capture/sequestration atau berupa pajak carbon yang diambil pemerintah untuk pembiayaan upaya reduksi emisi carbon.
Peneliti BATAN telah mengkaji biaya kerusakan akibat polusi tersebut atas dasar referensi tahun 2003. Hasilnya, biaya kerusakan akibat polusi PM10, SOx dan NOx yang diemisikan oleh PLTU Suralaya, Banten = 23.40 mills $/kWh.
Peneliti BATAN juga telah melakukan perhitungan dengan asumsi bahwa biaya CO2 capture/sequestration sebesar 30 $/MT CO2 (faktor konversi biaya per MT carbon ke biaya per MT CO2 = 3.7), diperoleh hasil perhitungan biaya carbon di Indonesia = 25.47 mills $/kWh.
Atas dasar perhitungan tersebut berarti biaya pembangkitan listrik PLTU batubara, dalam hal ini diwakili PLTU batubara Suralaya Banten, harus ditambah biaya kerusakan akibat PM10, SOx & NOx yang diemisikan oleh PLTU batubara PLTU Suralaya dan biaya carbon sebesar 48.9 mills $/kWh.

https://pubs.usgs.gov/fs/1997/fs163-97/FS-163-97.html

Kesimpulan dari kajian oleh peneliti BATAN:

  • Biaya pembangkitan listrik PLTU batubara tanpa biaya eksternalitas dan biaya carbon antara 43 hingga 61 mills USD/kWh, sementara itu hasil perhitungan biaya pembangkitan listrik pembangkit daya nuklir jenis High Temperature Gas Cooled Reactor (HTGR) di Indonesia antara 41 mills USD/kWh hingga 47 mills USD/kWh.
  • Jika biaya eksternalitas diperhitungkan dalam biaya pembangkitan listrik PLTU batubara Suralaya, biaya pembangkitan listrik PLTU Suralaya menjadi antara 89 mills USD/kWh hingga 107 mills USD/kWh, dan akan semakin mahal jika biaya carbon diperhitungkan, yaitu menjadi antara 114 mills USD/kWh hingga 133 mills USD/kWh. Sementara biaya pembangkitan listrik HTR tidak berubah, tetap antara 41 mills USD/kWh hingga 47 mills USD/kWh, karena tidak ada biaya eksternalitas dan biaya carbon.
  • CATATAN: Data terbaru harga investasi HTR China €667 juta dan harga listrik utk investasi yg optimal 79 €/MWh = 9.32 sen USD/kwh (1 € = 1.18 USD).